Kamis, 27 Februari 2020

H. ZUDI RAHMANTO



H. Zudi Rahmanto, dalam Kegiatan Manasik Haji di KUA, 2018
Mutasi Penghulu KUA Kecamatan se Kabupaten Gunungkidul telah dilaksanakan pada hari Selasa 25 Fabruari 2020 di kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul oleh Kapala Kantor, H. Aidi Johansyah, S. Ag., MM. 
H. Zudi Rahmanto, S.Ag., M.Ag., Penghulu Madya yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA Kecamatan Wonosari 2016-2020, mendapatkan tugas yang baru sebagai Penghulu Madya pada KUA Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Pria Kelahiran Dusun Menggoran, Bleberan Playen Gunungkidul ini diangkat sebagai CPNS pada tahun 2000 di tempatkan di KUA Kecamatan Tepus. Selanjutnya, pasca menerima SK PNS, dimutasi di Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Gunungkidul 2002-2003. pada Tahun 2003 diangkat sebagai wakil PPN KUA Kecamatan Playen hingga akhir tahun 2005 dan mutasi sebagai Wakil PPN pada KUA Kecamatan Wonosari. 
Jabatan Kepala KUA/PPN diemban sejak tanggal 7 Maret 2006 sebagai Kepala KUA Kec. Karangmojo hingga 25 Pebruari 2011, KUA Kec. Tepus 25 Pebruari 2011- 1 Oktober 2016 dan Penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA Kecamatan Wonosari per 1 Oktober 2016 sampai dengan hari Selasa, 25 Februari 2020.
Dengan berakhirnya masa tugas bapak H. Zudi Rahmanto di KUA Kecamatan Wonosari, beliau memohon maaf kepada warga masyarakat Kecamatan Wonosari atas segala kekurangan dan kekhilafan selama memberikan pelayanan, harapan doa kebaikan, semoga di tempat yang baru dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, dengan harapan jalinan silaturrahmi tetap terpintal dengan mantap dalam waktu-waktu yang akan datang.

Kamis, 09 Januari 2020

TUGAS DAN FUNGSI KUA KECAMATAN BERDASAR PMA No. 34 TAHUN 2016



Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, Kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan unit pelaksana Teknis pada Kementerian Agama, berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan secara operasional dibina oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Ketentuan ini termaktub dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan. 

Berdasarkan peraturan tersebut, KUA Kecamatan bertugas melaksanakan layanan dan bimbingan masyarakat Islam di wilayah kerjanya. Dalam menjalankan tugas tersebut, KUA Kecamatan melaksanakan fungsi-fungsi : 
a) pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan nikah dan rujuk; 
b) penyusunan statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam; 
c) pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi manajemen KUA Kecamatan; 
d) pelayanan bimbingan keluarga sakinah; 
e) pelayanan bimbingan kemasjidan; 
f) pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah; 
g) pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam; 
h) pelayanan bimbingan zakat dan wakaf; dan 
i) pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan
j) layanan bimbingan manasik haji bagi jamaah haji reguler.
@zura2020

Rabu, 08 Mei 2019

PUSAKA SAKINAH : KUA MENJADI POROS KETAHANAN

Pusaka Sakinah : Membangun Relasi Harmonis Pasangan 10> tahun Menikah

Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) akan menggulirkan Pusat Layanan Keluarga Sakinah atau Pusaka Sakinah. 

Kasubdit Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Adib Mahrus, mengatakan bahwa Pusaka Sakinah menjadi bagian dari upaya transformasi Kantor Urusan Agama (KUA) ke arah yang lebih baik.
Transformasi itu antara lain ditandai dengan sinergitas tugas penghulu dan penyuluh agama. Ke depan, tidak boleh ada dikotomi antara tugas penghulu dan penyuluh. Keduanya harus bersinergi dalam mengemban mandat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.“Kami mencoba menggulirkan Program Pusaka Sakinah agar mentransformasi kegiatan formalistik KUA kepada orientasi kebutuhan masyarakat, mendampingi, memberi bimbingan, advokasi, mediasi, dan konsultasi,” terang Kasubdit Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Adib Mahrus.

Program baru tersebut bertujuan untuk memperkuat Kantor Urusan Agama (KUA). Program tersebut dimaksudkan agar KUA bisa memberikan pelayanan yang lebih intensif dan menukik kepada akar persoalan masyarakat. Terutama menyangkut persoalan keluarga.
Kasubdit Bina KS Direktorat Bina KUA dan KS Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, M. Adib Machrus mengatakan, pihaknya terus berupaya mengubah citra KUA. Lembaga yang tadinya dikenal hanya mengelola urusan administratif pencatatan nikah, rujuk, dan wakaf serta berbagai layanan administrasi lainnya.
“Maka dari itu perlu adanya perubahan yang sangat mendasar dengan mengubah paradigma dan transformasi KUA. Sehingga keberadaan KUA semakin dirasakan masyarakat,” kata Adib saat ditemui Mubaadalahnews di Jakarta, belum lama ini.
Dia menilai, dulu KUA memiliki lima citra di masyarakat, yakni pelayanan formalistik, layanan berjarak dengan masyarakat, pasif, pinggiran, dan kegiatan formal saja.
Maka dari itu, lanjut dia, KUA perlu untuk difasilitasi dan dibantu untuk terus berinovasi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Terutama menyangkut isu-isu keluarga, termasuk masalah radikalisme, narkotika, tawuran remaja.
“Makanya kita terus branding menjadikan KUA sebagai pusat pelayanan keluarga sakinah,” katanya.
Pasalnya, lanjut Adib, KUA adalah salah satu unit yang di kecamatan yang terhubung langsung dengan kementerian. Maka dari itu, KUA memiliki potensi yang besar dalam menyelesaikan pelbagai persoalan di masyarakat.

Berkah, Kompak dan Lestari
Adib Machrus menjelaskan, Pusaka Sakinah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, belajar rahasia nikah yang disingkat Berkah. KUA memberikan bimbingan perkawinan (bimwin) bagi calon pasutri, bimbingan membangun relasi sehat dan mengelola keuangan.
Kedua, lanjut dia, ada konsultasi, mediasi, pendampingan dan advokasi, yang disingkat Kompak. Apabila ada keluarga yang bermasalah atau konflik, maka bisa menggunakan konsultasi atau mediasi di KUA. Sedangkan jika di masyarakat ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kawin anak atau kehamilan tidak dikehendaki bisa minta pemdampingan atau advokasi ke KUA.
Terakhir, kata Adib, ada Layanan Bersama Ketahanan Keluarga Indonesia (Lestari). KUA harus harus sebagai inisiator layanan terpadu lintas sektor untuk isu-isu yang tidak bisa digarap sendiri seperti pencegahan kawin anak, kesehatan keluarga, stunting.
Pusaka Sakinah: Membangun Jaringan Lokal untuk Ketahanan Keluarga

“Layanan ini juga, KUA harus membangun jaringan di tingkat lokal dalam menggarap isu-isu lintas sektoral,” tuturnya.
Untuk merealisasikan program Pusaka Sakinah, pihaknya akan memberikan pelatihan guna meningkatkan kapasitas petugas. Harapannya, petugas yang terlatih itu dapat memberikan penanganan yang benar di masyarakat.
BERKAH: Belajar Rahasia Nikah: Pengelolaan Keuangan Keluarga

“Jadi petugas khusus yang dilatih, makanya kita latih mereka agar ke depan KUA berdampak pada masyarakat bukan soal administrasi saja tetapi bisa memberikan pelayanan terkait isu-isu keluarga atau pun problem sosial,” tandasnya. (ZR dari berbagai sumber)

Senin, 03 Desember 2018

INSPIRASI: KISAH ULAR

@mubaadalahnews.com

Seekor ular memasuki gudang tempat kerja seorang tukang kayu di malam hari. Kebiasaan si tukang kayu adalah membiarkan sebagian peralatan kerjanya berserakan & tidak merapikannya. Nah ketika ular itu masuk ke sana, secara kebetulan ia merayap di atas gergaji. Tajamnya mata gergaji menyebabkan perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya. Ia pun membalas dengan mematuk gergaji itu berkali-kali.
.
Serangan yang bertubi-tubi menyebabkan luka parah di bagian mulutnya. Marah & putus asa, ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. Ia pun lalu membelit kuat gergaji itu. Belitan yang menyebabkan tubuhnya terluka amat parah, akhirnya ia pun mati binasa. Di pagi hari si tukang kayu menemukan bangkai ular tersebut di sebelah gergaji kesayangannya.
.
Sahabat... Kadangkala di saat marah, kita ingin melukai orang lain. Setelah semua berlalu, kita baru menyadari bahwa yang terluka sebenarnya adalah diri kita sendiri. Banyaknya perkataan yang terucap & tindakan yang dilakukan saat amarah menguasai, sebanyak itu pula kita melukai diri kita sendiri.
.
Tidak ada musuh yang tidak dapat di taklukkan oleh cinta kasih.
Tidak ada penyakit yang tidak dapat di sembuhkan oleh kasih sayang.
Tidak ada permusuhan yang tidak dapat dimaafkan oleh ketulusan.
Tidak ada kesulitan yang tidak dapat dipecahkan oleh ketekunan.
Tidak ada batu keras yang tidak dapat di pecahkan oleh kesabaran.
Semua itu haruslah berasal dari diri kita.
.
Ketahuilah Dendam benci/curiga/pikiran negatif, apapun itu, ia sebenarnya bagaikan ular yang membelit gergaji, telah ribuan kali muncul dalam pikiran kita
yang menusuk & membakar hati kita sendiri.
.
Latihlah dirimu setiap saat untuk mengampuni, memaafkan dengan tulus, mampu dengan cepat melepaskan & membuang semua sampah pengotor hati dan pikiran kita sendiri. Semoga  bermanfaat...

KEISTIMEWAAN SHALAWAT ATAS NABI MUHAMMAD SAW

 ISTIMEWANYA SHOLAWAT 
 Amal Yang Pasti Diterima


Seorang murid pernah bertanya kepada Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Mesir, “Syaikh, dalam buku Anda tertulis bahwa membaca shalawat adalah satu-satunya ibadah yang pasti diterima oleh Allah. Apakah benar demikian?
Syaikh Ali Jum’ah menjawab, “Ya benar, saya menulis demikian. Bershalawat kepada Nabi adalah amalan yang pasti diterima oleh Allah. Jika kamu bersedekah, dan kamu ingin dipuji, maka sedekahmu sia-sia. Begitu pula jika kamu shalat karena ingin diperhatikan manusia, shalatmu tidak berpahala. Tapi jika kamu bershalawat, walaupun kamu riya, kamu tetap akan mendapatkan pahala, karena shalawat berhubungan dengan Nabi Allah yang agung, yaitu Nabi Muhammad Saw.”

Tersebut dalam kitab Al Fawaid Al Mukhtarah, Syaikh Abdul Wahab Al Sya’roni meriwayatkan bahwa Abul Mawahib Imam Al Syadzili berkata:

رَأَيْتُ سَيِّدَ الْعَالَمِيْنَ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلاَةُ اللهِ عَشْرًا لِمَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مَرَّةً وَاحِدَةً هَلْ ذَلِكَ لِمَنْ حَاضَرَ الْقَلْبَ؟ قَالَ لاَ، بَلْ هُوَ لِكُلِّ مُصَلٍّ عَلَيَّ وَلَوْ غَافِلاً

“Aku pernah bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad Saw. Aku bertanya, “Ada hadits yang menjelaskan sepuluh rahmat Allah diberikan bagi orang yang membaca shalawat, apakah itu bagi pembaca yang menghadirkan hatinya?” Nabi Saw menjawab, “Tidak, bahkan itu diberikan bagi siapa saja yang membaca shalawat meskipun dalam keadaan lupa”.

Dalam sebuah syair dikatakan:

أَدِمِ الصَّلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ #  فَقَبُوْلُهَا حَتْمًا بِغَيْرِ تَرَدُّدٍ
أَعْمَالُنَا بَيْنَ الْقَبُوْلِ وَرَدِّهَا  # اِلاَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ

“Istiqamahlah untuk membaca shalawat, karena shalawat pasti diterima tanpa ada keraguan. 
Amal-amal kita antara diterima dan ditolak, kecuali shalawat kepada Nabi pasti diterima.”

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan, “Tidak tertolak shalawat atas Nabi Saw.”

واعلموا أن العلماء إتفقوا على وجوب الصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم ثم اختلفوا في تعيين الواجب فعند مالك تجب الصلاة والسلام في العمر مرة وعند الشافعي تجب في التشهد الأخير من كل فرض وعند غيرهما تجب في كل مجلس مرة وقيل تجب عند ذكره وقيل بوجوب الإكثار منها من غير تقييد بعدد وبالجملة فالصلاة على النبي أمرها عظيم وفضلها جسيم. وهي أفضل الطاعات وأجل القربات حتى قال بعض العارفين إنها توصل إلى الله تعالى من غير شيخ لأن الشيخ والسند فيها صاحبها وأنها تعرض عليه ويصلي على المصلي بخلاف غيرها من الأذكار فلا بد فيها من الشيخ العارف و الا دخلها الشيطان ولم ينتفع صاحبها بها.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya para ulama telah sepakat atas diwajibkannya membaca shalawat dan salam untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kapan kewajiban ini harus dilakukan. Menurut Imam Malik, cukup satu kali dalam seumur hidup. Menurut Imam Syafi’i, wajib dibaca pada waktu tasyahud akhir dalam setiap shalat fardhu. Menurut ulama lainnya, wajib dibaca satu kali dalam setiap majelis. Ada juga ulama yang berpendapat wajib membaca shalawat setiap kali mendengar nama Nabi Saw disebut. Dan ada juga yang mengatakan untuk memperbanyak shalawat tanpa dibatasi bilangan tertentu. Secara umum, membaca shalawat kepada Nabi Saw merupakan hal yang sangat agung dan keutamaannya sangat banyak. Membaca shalawat merupakan bentuk ibadah yang paling utama dan paling besar pahalanya. Sampai-sampai sebagian kaum ‘arifin mengatakan, _“Sesungguhnya shalawat itu bisa mengantarkan pengamalnya untuk ma’rifat billah meskipun tanpa guru spiritual (mursyid). Karena guru dan sanadnya langsung melalui Nabi Saw. Ingat, setiap shalawat yang dibaca seseorang selalu diperlihatkan kepada Nabi Saw dan beliau Saw membalasnya dengan doa serupa. Hal ini berbeda dengan dzikir-dzikir (selain shalawat) yang harus melalui guru spiritual (mursyid), yang sudah mencapai maqam ma’rifat. Jika tidak demikian maka akan dimasuki setan dan pengamalnya tidak akan mendapat manfaat apapun.” (Hasiyah Al Shawi ‘alal Jalalain juz 3 hlm. 287).

Kamis, 01 November 2018

Tiga Pesan Rasulullah dalam Pernikahan Ali-Fatimah


Pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting dan sakral di dalam Islam. Tidak main-main. Di dalam Al-Qur’an, pernikahan disebut sebagai sebuah perjanjian yang kuat dan kukuh (mitsaqan ghalizha). Sebuah istilah yang hanya disebut Allah tiga kali dalam Al-Qur’an;  Surat An-Nisa 21 (perjanjian suami dan istri atau pernikahan), Surat An-Nisa 154 (perjanjian Allah dengan umat-Nya soal ajaran agama), dan Al-Ahzab 7 (perjanjian Allah dengan para nabi).

Tidak lain, penggunaan ungkapan mitsaqan ghalizha adalah untuk menunjukkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci. Maka dari itu, pasangan suami istri harus menjunjung tinggi ikatan tersebut, serta teguh mempertahankan dan menjaganya. 

Pernikahan adalah pertemuan dua individu dengan latar belakang, karakter, dan budaya yang berbeda. Maka tidak heran jika di tengah perjalanan mengarungi biduk rumah tangga, terjadi perselisihan antara suami dan istri karena sejatinya mereka memang ‘berbeda’. 

Tujuan pernikahan bukan lah untuk merubah salah satu menjadi seperti yang lainnya. Akan tetapi, masing-masing dituntut untuk bisa memahami dan menerima perbedaan yang ada diantara keduanya sehingga kebahagiaan dan ketenteraman bisa terwujud.

Dalam pernikahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah, Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan, pandangan, dan wejangan mengenai pernikahan. Setidaknya ada tiga poin yang disampaikan Rasulullah pada kesempatan tersebut. 

Pertama, pernikahan adalah kuasa Allah. Semua yang ada di jagat raya ini tidak bisa lepas dari kekuasaan dan ketetapan Allah, termasuk pernikahan. Dalam hal pernikahan, Allah telah menetapkan sebuah sistem. Apakah sebuah pernikahan langgeng dan gagal. Jika pasangan suami istri mengikuti sistem yang telah ditetapkan-Nya, maka pernikahan mereka bisa langgeng dan bahagia. Begitu pun sebaliknya. 

الذي خلق الخلق بقدرته، ونيرهم بأحكامه

“Dialah yang yang menciptakan makhluk dengan kekuasan-Nya. Dialah yang menerangi jalan manusia dengan ketetapan-ketetapan-Nya,” kata Rasulullah saw. dalam pernikahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah, dikutip dari buku Pengantin Al-Qur’an.  

Kedua, sarana memperoleh keturunan. Rasulullah juga menegaskan bahwa pernikahan adalah sarana untuk memperoleh keturunan. Dalam satu hadist, Rasulullah menyeru kepada umatnya untuk menikah dengan perempuan yang subur sehingga dapat melahirkan banyak anak. Yang terpenting bukan hanya memperoleh keturunan atau anak yang banyak saja, tapi juga berusaha membentuk generasi yang berkualitas. Yakni generasi yang beriman, bertakwa, dan berilmu.

إن عز وجل جعل المصاهرة نسبا

“Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia telah menjadikan perkawinan sebagai sarana perolehan keturunan,” sambung Rasulullah saw. 

Ketiga, mempererat tali kekerabatan. Salah satu rukun nikah dalam Islam adalah adanya wali, khususnya bagi mempelai perempuan. Dengan demikian, baik secara langsung atau tidak, sesungguhnya pernikahan dalam Islam tidak hanya melibatkan dua individu (mempelai laki-laki dan perempuan) saja, tapi juga keluarga besar dari yang bersangkutan. Setelah ada ikatan pernikahan, biasanya dua keluarga besar memiliki ikatan yang kuat. (Muchlishon)

Ayah Tidak Diketahui Domisilinya, Kepada Siapa Wali Nikah Berpindah?


Dalam proses ijab kabul perkawinan ada banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu masalah yang sering terjadi adalah masalah yang berkaitan dengan wali nikah, di antaranya adalah wali yang tidak diketahui keberadaannya atau yang dalam istilah fiqih disebut dengan wali mafqûd.

Sebagai contoh kasus, seorang perempuan hendak melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki. Ketika ditanya siapa yang akan menjadi walinya ia menyebutkan sang kakek (bapaknya ayah) yang akan menjadi wali. Ketika ditanya lagi di mana ayahnya calon pengantin perempuan ini mengaku bahwa ayahnya tidak diketahui keberadaannya sudah sejak lama. Menurutnya sejak ia masih bayi sang ayah pergi meninggalkan dirinya dan ibunya dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Pun kabar tentang masih hidup atau tidaknya sang ayah tak ada yang mengetahui.

Dalam kasus seperti ini pihak KUA—setelah sebelumnya melakukan banyak penelitian tentang sang ayah—akan menetapkan wali hakim sebagai wali pengantin perempuan dalam proses ijab kabul perkawinannya. Atas ketetapan ini tak jarang calon pengantin perempuan merasa keberatan dan meminta agar wali perkawinannya adalah wali nasab, bukan wali hakim.

Keberatan dan pilihan ke wali nasab ini bukan tanpa alasan. Sudah jamak di masyarakat sebuah persepsi bahwa bila seorang perempuan menikah dengan menggunakan wali hakim maka mereka akan beranggapan bahwa perempuan itu adalah anak yang lahir di luar nikah. Ini salah satu hal yang sering menjadi alasan calon pengantin perempuan enggan menikah dengan wali hakim sebagai walinya.

Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih mengatur tentang hal ini?

Imam Nawawi di dalam kitabnya Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab mengutip pendapat Imam Syafi’i sebagai berikut:

إذا كان للمرأة أب أو جد فغاب الاب وحضر الجد ودعت المرأة إلى تزويجها نظرت، فان كان الاب مفقودا بأن انقطع خبره ولا يعلم أنه حى أو ميت فان الولاية لا تنتقل إلى الجد، وانما يزوجها السلطان، لان ولاية الاب باقية عليها، بدليل أنه لو زوجها في مكانه لصح، وانما تعذر بغيبته فناب الحاكم عنه

Artinya: “Apabila seorang perempuan memiliki ayah dan kakek, lalu sang ayah pergi dan yang ada adalah kakeknya, kemudian perempuan itu meminta sang kakek untuk mengawinkannya maka dilihat; apabila sang ayah tidak diketahui keberadaannya (mafqûd) di mana kabar tentangnya terputus dan juga tidak diketahui hidup dan matinya, maka perwalian tidak pindah kepada sang kakek. Yang bisa mengawinkannya adalah penguasa, karena perwalian sang ayah masih tetap atas diri perempuan itu. Dengan alasan bila sang ayah mengawinkan perempuan itu di tempatnya maka sah akad nikahnya, hanya saja ketidakadaannya menjadikan ia tak bisa mengawinkan maka hakim bertindak menggantikannya.” (Yahya bin Syarah An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], Juz XXVII, hal. 259)

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas bisa dipahami bahwa seorang wali yang tidak diketahui keberadaannya dan juga tidak diketahui masih hidup atau tidak ia masih berhak menjadi wali nikah bagi seorang perempuan di bawah perwaliannya yang hendak menikah. Ketidakberadaannya pada saat ijab kabul tidak menjadikan hak perwaliannya berpindah ke orang lain yang juga bisa menjadi wali pada urutan berikutnya. Karenanya ketika sang wali tak dapat mengawinkan karena ketidakberadaannya itu maka perkawinan tetap dapat berlangsung dengan penguasa sebagai walinya atau yang biasa disebut dengan wali hakim.

Ini apabila sang wali tidak diketahui keberadaannya. Bagaimana bila sang wali diketahui keberadaannya? Imam Nawawi lebih lanjut menuturkan:

وان غاب غيبة غير منقطعة بأن يعلم أنه حى نظرت فان كان على مسافة تقصر فيها الصلاة جاز للسلطان تزويجها، لان في استئذانه مشقة فصار كالمفقود. وان كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة، فاختلف أصحابنا فيه، فمنهم من قال يجوز للحاكم تزويجها، وهو المذهب، لان في استئذانه الحاق مشقة، فهو كما لو كان على مسافة القصر

Artinya: “Apabila sang ayah pergi dan tidak terputus kabar keberadaannya di mana diketahui ia masih hidup maka dilihat; apabila ia berada pada jarak diperbolehkannya mengqashar shalat maka diperbolehkan bagi penguasa untuk mengawinkan perempuan itu (tanpa perlu meminta izinnya). Karena memberatkan untuk meminta izinnya maka sang ayah dianggap seperti mafqûd. Namun bila sang wali berada pada jarak yang tidak memperbolehkan mengqashar shalat maka para sahabat kami berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat hakim boleh mengawinkannya, ini pendapat madzhab. Karena untuk meminta izinnya akan menemui kesulitan. Hal ini berlaku sebagaimana bila sang ayah berada pada jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.” (Yahya bin Syarah An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], Juz XXVII, hal. 259)

Pada praktiknya apabila sang wali tidak diketahui keberadaannya (mafqûd) maka hal ini harus dibuktikan oleh calon pengantin dengan membuat surat pernyataan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 Pasal 12 ayat (5).

Wallâhu a’lam(Yazid Muttaqin) 
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/98111/ketika-ayah-tak-diketahui-keberadaannya-siapa-yang-berhak-jadi-wali-nikah


H. Zudi Rahmanto, dalam Kegiatan Manasik Haji di KUA, 2018 Mutasi Penghulu KUA Kecamatan se Kabupaten Gunungkidul telah dilaksana...